Adaptasi Cara Menyampaikan Pesan | Festival Lampion Suzhou

Datang ke Festival Lampion Suzhou dengan ekspektasi seperti film kolosal China, ternyata acaranya lebih mirip pasar malam. Tapi yang menarik, ada lampion berbentuk masjid! Ini mengajarkan pentingnya adaptasi budaya dalam menyampaikan pesan.

EKSPLORASI

3/21/20152 min read

Minggu lalu saya datang ke acara festival lampion “suzhou”. Sebelum mengunjungi acara festival tersebut, bayangan saya akan melihat layaknya film – film kolosal china yang terdapat begitu banyak lentera, petasan, lampion dimana mana dan bayangan keindahan budaya lampion china yang lainnya. Tapi setelah surfing di internet tentang “suzhou”, yang hasilnya ternyata suzhou merupakan nama salah satu kota di china yang sangat berkembang pesat baik dari sisi ekonomi maupun teknologi. Waktu di sana ngga sempat ketemu panitia atau guide yang bisa ditanya2 (atau memang ngga ada kayaknya) jadi sebenarnya saya tidak begitu mengerti jelas sebenernya ini konsep nya apaan sih, cerita dibalik festival ini apa. Malah kecenderungan kesan yang timbul adalah ini hanya seperti pasar malam pada umumnya (sorry to say). Apa karena saya yang tidak terlalu mengerti dan paham konsepnya ya 😕 Nevermind!

Lanjut keliling – keliling, di festival tersebut banyak saya temui berbagai jenis lampion, mulai dari lentera tradisional untuk penerangan sampai lampion yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk berbagai macam benda seperti bunga, hewan dan bangunan. Namun yang menarik perhatian saya adalah lampion yang dibentuk menjadi masjid. Seketika langsung pikiran saya kemana-mana (ketahuan kebiasaan suka mikirin yang macem macem dan kemana – mana ya seperti ini akibatnya :D)

Lampion / lentera merupakan salah satu warisan budaya tionghoa yang notabene cukup jauh dengan budaya islam tapi untuk festival seperti ini panitia menampilkan lampion dalam bentuk mesjid. Saya jadi beranggapan bahwa memang sebenarnya tujuan dari festival ini bukan sepenuhnya untuk menampilkan budaya tionghoa, namun tetap ada bagian yang dikemas untuk dapat dengan mudah diterima oleh budaya lokal yang mayoritasnya beragama islam. Hal tersebut membuat saya belajar bahwa untuk dapat “masuk” ke suatu tempat atau masyarakat kita perlu untuk beradaptasi dan menyesuaikan apa yang ingin kita sampaikan dengan kemasan budaya setempat. Tentu kita masih ingat bagaimana Sunan Kalijogo ketika menyebarkan syiar islam di jawa menggunakan media wayang, ataupun dijaman sekarang kalau kita perhatikan konser artis luar negeri di Indonesia, mereka selalu menyelipkan sapaan-sapaan menggunakan bahasa Indonesia. Jika kita ingin menyampaikan pesan ke suatu tempat tapi kita memaksakan untuk tetap 100% menggunakan cara – cara yang kita yakini dan mengabaikan cara atau budaya setempat, apa bedanya dengan penjajahan? Dan apa efek dari sebuah penjajahan, adalah perlawanan dari budaya setempat.

So, memang tidak mudah untuk membuat kemasan pesan yang ingin kita sampaikan menggunakan cara atau budaya orang lain, tapi jika ingin pesan kita cepat sampai, maka tidak ada salahnya untuk sedikit beradaptasi.