Biennale Jakarta 2015: Karya Seni “Ketidaknyamanan”
Mengunjungi Biennale Jakarta 2015 di Gudang Sarinah, saya terkesan dengan karya-karya yang banyak menyuarakan ketidaknyamanan terhadap situasi sosial. Namun, karya Peter Robinson dari Selandia Baru menawarkan interaksi aktif pengunjung, membuktikan bahwa seni itu bebas dan relatif, tak terikat oleh aturan tertentu.
EKSPLORASI
12/16/20152 min read


Akhirnya kesampaian juga mampir ke Biennale Jakarta 2015, yang terjadi karena tidak sengaja. Baru pulang dari kondangan mau ke tempat bulik di kalibata, ternyata ngelewatin Gudang Sarinah, tempat utama pameran Biennale Jakarta 2015, baru tau kalau tempatnya di situ 😀
Sebenernya waktunya sudah mepet, sampe di lokasi sudah sekitar jm 4 sore, padahal sekitar jam 6 sudah tutup, jadi udah persiapan sepertinya menikmati pameran bakalan sedapetnya.
Untuk karya-karya, cara presentasi, lokasi dan bungkus keseluruhan acara sangatlah luar biasa. Ide-ide untuk menghasilkan karya dan menyampaikan pesan memang nggak bakal membuat penikmat seni kecewa. Saya tidak akan membahas mengenai konten pameran dan acara, intinya saya merekomendasikan sekali untuk datang keacara tersebut untuk menikmati secara langsung, sebelum selesai di 17 Januari 2015 nanti.


Yang agak membuat saya berpikir adalah, hampir 70% karya yang ada di pameran tersebut menyampaikan pesan tentang penolakan, perlawanan atau protes terhadap situasi yang tidak sesuai. Tentang banyaknya Mall, tentang kondisi sosial, lingkungan hidup bahkan pemerintahan orde baru yang sudah lama runtuh pun tidak luput dari perhatian para seniman pengisi acara ini. Membuat saya berpikir, lebih banyak karya seni yang diciptakan malah justru dalam kondisi yang “tidak nyaman”. Mungkin itulah cara yang lebih cepat untuk berkarya, daripada menciptakan pesan yang belum terpikir sebelumnya, kenapa tidak membuat pesan dari situasi yang dialami di sekitar kita. Dan kecenderungannya adalah pesan yang condong untuk melawan kondisi yang “tidak sesuai” daripada mengapreasiasi sesuatu hal yang baik. Mungkin juga karena saking sudah jarang nya hal baik yang ditemukan disekitar kita jadi akan lebih susah untuk mengangkat tema tentang sesuatu yang baik 😀






Saya hanya penikmat seni, bukan pemerhati, pelaku, apalagi ahli seni, jadi sebagai orang awam, yang saya rasakan dari hampir semua karya pameran ini adalah sikap kegalauan dan ketidaknyamanan para pelaku seni terhadap berbagai macam situasi yang tidak sesuai di sekitar kita…. (jadi ikutan galau… baper -_-)
Eitts.. tapi bukan berarti semua karya di pameran ini galau semua lho, ada satu karya dari Peter Robinson (seniman Selandia Baru), yang mencoba menghilangkan batasan-batasan karya seni yang selama ini ditentukan oleh kurator, kritikus ataupun otoritas tertentu. Karya Peter Robinson membuat pengunjung bukan hanya menjadi penikmat pasif karya seni, tetapi juga aktif membuat karya seni tersebut. Dengan menggunakan kain felt (semacam flannel) dengan berbagai macam ukuran dan potongan pengunjung diperbolehkan membuat visualisasi dari awal atau meneruskan visualisasi yang sudah dibuat pengunjung sebelumnya. Seru!




Dari karya tersebut saya jadi lebih terbuka mengenai karya seni. Seni menurut saya bukanlah desain, yang mengharuskan pesan harus dapat diterima target audience nya dengan pakem – pakem tertentu. Seni itu bebas menurut pencipta nya dan bagus tidak nya itu tergantung siapa yang menilai, dalam forum apa atau diposisikan sebagai apa. Seni itu seperti teorinya Einstein, relatif 🙂












Foto foto lain
Mari Menikmati Belajar dan Bermain
aprintoyuwono@gmail.com